Beranda | Artikel
Etika Shalat Malam
Kamis, 24 Januari 2013

ETIKA SHALAT MALAM

Oleh
Muhammad bin Suud Al-Uraifi

Sesungguhnya shalat malam memiliki beberapa etika yang merupakan tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukannya. Di antaranya adalah:

1. Niat Bangun Untuk Shalat Ketika Akan Tidur
Hal itu agar seseorang mendapatkan pahala shalat malam jika ia tidak melakukannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

Sesungguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat.”[1]

An-Nasa-i dan lainnya meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ، وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُوْمَ يُصَلِّي مِنَ اللَّيْلِ، فَغَلَبَهُ النَّوْمُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً مِنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ.

Barangsiapa yang naik ke atas ranjangnya sedang ia telah berniat untuk bangun melakukan shalat di malam hari, namun ia tertidur hingga waktu Shubuh, maka ditulis baginya pahala apa yang ia niatkan dan tidurnya itu adalah sedekah dari Rabb-nya.”[2]

2. Berdzikir ketika bangun tidur
Apabila seseorang bangun dari tidurnya untuk melakukan shalat Tahajjud ia disunnahkan berdzikir kepada Allah.

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun pada waktu malam untuk melakukan shalat Tahajjud beliau membaca:

اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاءُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَـيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ.

Ya Allah bagi-Mu segala puji, Engkau Yang mengurus langit dan bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, milik-Mu kerajaan langit dan bumi dan makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau cahaya langit dan di bumi dan apa yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau Raja di langit dan di bumi dan bagi semua makhluk yang ada di dalamnya. Bagi-Mu segala puji, Engkau adalah haq, janji-Mu adalah haq, berjumpa dengan-Mu adalah haq, firman-Mu adalah haq, Surga adalah haq, Neraka adalah haq, para Nabi adalah haq, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq dan hari Kiamat juga haq. Ya Allah hanya kepada-Mu aku pasrah, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bertawakal, kepada-Mu aku kembali, dengan hujjah-Mu aku bertikai, kepada-Mu aku memohon putusan hukuman. Ampuni-lah dosaku yang lalu dan akan datang, yang tersembunyi dan yang terang-terangan. Engkau Yang mendahulukan dan Yang meng-akhirkan. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Engkau.”[3]

Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang apa yang pertama dibaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memulai shalatnya ketika beliau shalat malam?’ ‘Aisyah menjelaskan, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila melakukan shalat malam memulai shalatnya dengan membaca:

اَللَّهُمَّ، رَبَّ جَبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّـهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْـهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.

Ya Allah, Rabb Malaikat Jibril, Mika’il dan Israfil, Pencipta langit dan bumi dan Yang Mengetahui yang tersembunyi dan yang terlihat, Engkau yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu apa yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah kepadaku pada apa yang benar dari apa yang diperselisihkan itu dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau yang menunjukan kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”[4]

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam al-Majmuu’, “Disunnahkan bagi setiap orang yang bangun untuk melakukan shalat malam, mengusap (menghilangkan) rasa kantuk dari wajahnya, bersiwak, memandang ke atas langit dan membaca ayat terakhir dari surat Ali ‘Imran (إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ ), (hingga akhir surat). Cara ini dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[5]

3. Bersiwak Ketika Bangun Untuk Melakukan Shalat Malam
Hal ini berdasarkan hadits riwayat Hudzaifah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun di malam hari untuk melakukan shalat Tahajjud beliau menggosok mulutnya dengan siwak.[6]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa ia tidur dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia bangun, lalu bersiwak dan berwudhu’[7].

4. Membangunkan Keluarga Untuk Melakukan Shalat Tahajjud
Hal ini demi menjalankan firman Allah:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…” [Al-Maa-idah/5: 2].

Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau berkata:

سُبْحَانَ اللهِ، مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُـرَاتِ، يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Subhanallaah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan untuk orang yang membangunkan istri-istrinya.Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tapi telanjang pada hari Kiamat kelak.”[8]

‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya dan kepada Fathimah pada suatu malam, “Tidakkah kalian melaksanakan shalat?”[9]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ibnu Bathal menjelaskan bahwa di dalam hadits ini terkandung keutamaan shalat malam dan membangunkan orang-orang yang masih tidur dari anggota keluarga dan kerabat untuk juga melakukannya.”[10]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada malam hari dan bila beliau melakukan shalah witir beliau berkata: ‘Bangunlah dan shalat Witirlah wahai ‘Aisyah!`”[11]

5. Mengawali Shalat Malam Dengan Melakukan Shalat Dua Raka’at Yang Pendek
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangun di malam hari untuk melakukan shalat, beliau mengawalinya dengan shalat dua raka’at yang pendek.”[12]

Dari Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Demi Allah aku melihat shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari. Beliau shalat dua raka’at yang pendek dan kemudian shalat dua raka’at yang panjang.”[13]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ، فَلْيَفْتَتِحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ.

Bila seseorang dari kalian bangun di malam hari hendaklah ia mengawali shalatnya dengan melakukan shalat dua raka’at yang pendek.”[14]

An-Nawawi rahimahullah berkomentar, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mengawali shalat Tahajjud dengan melakukan dua raka’at yang pendek agar seseorang semangat untuk melakukan raka’at-raka’at selanjutnya.”[15]

6. Menangis Saat Membaca Al-Qur-an Dan Merenungkannya
Adapun menangis, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila shalat terdengar darinya suara seperti suara periuk, karena tangisan.[16]

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ‘Bacakanlah al-Qur-an kepadaku!’ Aku berkata, ‘Apakah aku pantas membacakan al-Qur-an kepadamu, sedangkan kepadamulah al-Qur-an itu diturunkan?’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya aku senang mendengarkannya dari orang lain.’ Maka akhirnya aku pun membacakan kepadanya ayat dalam surat an-Nisaa’, hingga saat sampai pada ayat:

فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَاؤُلآءِ شَهِيدًا

‘Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan ka-mu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (se-bagai umatmu).‘ [An-Nisaa’/4: 41].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Cukuplah!’ Ketika aku mengangkat kepalaku, aku melihat air mata mengalir dari matanya.”[17]

Al-Hasan berkata, “‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu membaca ayat yang rutin ia baca pada malam hari, lalu ia menangis hingga terjatuh dan ia tetap berada di rumah sampai ia dijenguk karena sakit.”[18]

Adapun merenungkan dan menghayati bacaan ayat-ayat al-Qur-an maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan dalam masalah ini. Bahkan kadang beliau shalat di malam hari hanya membaca satu ayat saja sebagaimana yang tersebut dalam riwayat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.[19]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Demi Allah membaca surat al-Baqarah dengan tartil dan merenungkannya lebih aku sukai daripada membaca seluruh al-Qur-an dalam satu malam.”[20]

7. Berdo’a Dalam Shalat Malam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperbanyak do’a dalam shalatnya dan juga dalam Tahajjudnya, karena pada waktu-waktu tersebut kemungkinan besar dikabulkannya do’a.

Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي اللَّيْلِ لَسَاعَةً، لاَ يُوَافِقُهَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ، وَذَلِكَ كُلَّ لَيْلَةٍ.

‘Sesungguhnya di malam hari terdapat suatu waktu, yang apabila seorang muslim memohon kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat bertepatan dengan waktu itu, Allah pasti mengabulkannya dan waktu itu ada di setiap malam.`”[21]

8. Tidak Memberatkan Jiwa Dalam Menjalankan Ketaatan
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا، وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ.

Sesungguhnya agama ini mudah dan siapapun yang memberatkannya pasti akan kepayahan, oleh karenanya bersikap adillah (sedang-sedang saja dalam beribadah), men-dekatkan dirilah, berbahagialah dan jadikanlah waktu pagi, siang dan sebagian waktu malam untuk melakukan ibadah.”[22]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bercerita, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan ketika itu ia tengah bersama seorang wanita. Beliau bertanya, “Siapakah ini?” ‘Aisyah menjawab, “Ini Fulanah yang dikenal sangat giat dalam shalat.” Beliau berkata: “Mah (hentikanlah), lakukanlah apa yang kalian mampu melakukannya! Demi Allah, Allah tidak pernah merasa bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan beragama yang paling dicintai Allah adalah yang dijalankan seseorang secara terus-menerus.”[23]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Kata ‘mah’ merupakan isyarat dimakruhkannya hal itu, karena khawatir kelemahan dan kebosanan akan menimpa si pelakunya. Tujuannya adalah agar ia tidak berhenti dari menjalankan amal ibadah yang biasa ia lakukan, sehingga ia menarik diri dari apa yang telah ia berikan kepada Rabb-nya.”[24]

9. Tidak Melakukan Shalat Tahajjud Jika Mengantuk
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ، فَلْيَنَمْ حَتَّى يَعْلَمَ مَا يَقْرَأُ.

Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, maka hendaklah ia tidur agar ia mengetahui apa yang yang dibacanya.”[25]

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menuturkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلاَةِ، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَـدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ، لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ.

Bila seseorang dari kalian mengantuk dalam shalatnya, hendaklah ia tidur agar rasa kantuknya hilang. Sebab bila seseorang dari kalian shalat dalam keadaan mengantuk bisa jadi dia memohon ampunan kepada Allah, lalu ia mencaci dirinya sendiri.”[26]

An-Nawawi rahimahullah memberikan komentarnya, “Di dalam hadits ini terdapat dorongan shalat dalam keadaan khusyu’, konsentrasi hati dan semangat. Di dalamnya juga terdapat perintah tidur kepada orang yang mengantuk atau yang sejenisnya yang bisa menghilangkan rasa kantuk itu.”[27]

10. Tidur Setelah Melakukan Shalat Tahajjud
Disunnahkan bagi seorang mukmin setelah melakukan shalat Tahajjud untuk tidur. Yaitu pada waktu sahur dan inilah salah satu tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku tidak mendapati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu Sahur di rumahku atau di dekatku melainkan dalam keadaan tidur.”[28]

‘Abdul Qadir al-Jailani al-Hanbali, seseorang yang hidup zuhud pada masanya berkata, “Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat Tahajjud untuk tidur pada akhir malam karena dua hal:

  1. Hal itu dapat melenyapkan rasa kantuk di pagi hari.
  2. Tidur di akhir malam dapat menghilangkan warna kekuningan di wajah. Karena bila seseorang kelelahan dan tidak tidur maka akan ada warna kekuningan di wajahnya. Seyogyanya seseorang menghilangkannya, karena itu merupakan pintu yang samar dan termasuk bentuk popularitas yang tersembunyi serta termasuk syirik yang samar. Sebab ia akan mendapat acungan jempol (dipuji orang) dan akan dikira sebagai orang yang shalih yang senantiasa bergadang (untuk beribadah), berpuasa dan takut kepada Allah karena ada warna kekuningan di wajahnya. Kita berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik dan riya’ serta hal-hal yang membawa kepadanya.”[29]

11. Berdo’a Seusai Shalat
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap usai shalat Witir membaca:

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.

Ya Allah sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu, dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Aku tak mampu menghitung pujian terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu sendiri.”[30]

Syamsul Haqqil ‘Azhim Abadi berkata, “Yakni berdo’a setelah salam, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain.”[31]

[Disalin dari kitab “Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun” karya Muhammad bin Su’ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh ‘Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari dalam kitab Bad-il Wahy, bab Bad-il Wahy, (hadits no. 1) dan Muslim dalam kitab al-Imaarah, bab Qaw-lihi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Innamal A’maalu bin Niyyaah,” (hadits no. 1907).
[2] HR. An-Nasa-i dalam kitab ash-Shalaah, bab Man Ataa Firaa-syahu wa Huwa Yanwil Qiyaam, (hadits no. 1786), Ibnu Majah dalam kitab Iqaamatish Shalaati was Sunnati fii ha, bab Maa Jaa-a fii man Naama ‘an Hizbihi minal Lail, (hadits no. 1344), al-Hakim dalam al-Mustadrak, (I/311) dengan komentarnya, “Hadits ini shahih sesuai kriteria yang ditetap-kan al-Bukhari dan Muslim.” Penilaiannya ini disepakati oleh adz-Dzahabi. Sedangkan al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil, (II/204) menilainya juga shahih.
[3] HR. Al-Bukhari dalam kitab ad-Da’awaat, bab ad-Du’aa-u idzan Tabaha minal Lail, (hadits no. 6317) dan Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashriha, bab ad-Du’aa-u fii Shalaatil Laili wa Qiyaamih (hadits no. 769).
[4] HR. Muslim dalam kitab al-Musaafiriin, bab ad-Du’a fish Shalaatil Lail wa Qiyaamih, (hadits no. 770).
[5] Lihat al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, karya Imam an-Nawawi (IV/45).
[6] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Wudhu’-i bab as-Siwaak, (hadits no. 245) dan Muslim dalam kitab ath-Thahaarah, bab as-Siwaak, (hadits no. 255)
[7] Telah ditakhrij sebelumnya
[8] Telah ditakhrij sebelumnya
[9] Telah ditakhrij sebelumnya
[10] Fat-hul Baarii (III/15).
[11] HR. Al-Bukhari dalam kitab ash-Shalaah bab ash-Shalaah Khalfan Naa-im (hadits no. 512) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Shalaatil Lail (hadits no. 744).
[12] HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab ad-Du’aa-i fii Shalaatil Laili wa Qiyaamih, (hadits no. 767).
[13] HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab ad-Du’aa-i fii Shalaatil Laili wa Qiyaamih (hadits no. 765).
[14] HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab ad-Du’aa-i fii Shalaatil Laili wa Qiyaamih (hadits no. 768).
[15] Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi, (VI/54).
[16] HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab al-Bukaa’u fish Shalaah, (hadits no. 904), an-Nasa-i dalam Kitab as-Sahw, bab al-Bukaa’i fish Shalaah, (hadits no. 1214), Ahmad dalam Musnadnya, (hadits no. 15877). Semuanya melalui jalur periwayatan yang bersumber dari Mathraf bin ‘Abdillah dari ayahnya.
[17] HR. Al-Bukhari dalam kitab Tafsiirul Qur-aan, bab Fakaifa idzaa ai-naa min Kulli Ummatin bi Syahiid, (hadits no. 4582) dan Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashriha, bab Fadhlu Istimaa’il Qur-aan, (hadits no. 800).
[18] Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 142).
[19] HR. At-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalaah, bab Maa Jaa-a fil Qiraa-atil Qur-aan, (hadits no. 448) dengan komentarnya, “Hadits ini hasan gharib.”
[20] Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 143)
[21] HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Fil Laili Saa’atun Mustajaabun fii had Du’aa’, (hadits no. 757).
[22] HR. Al-Bukhari dalam Shahiihnya dalam kitab al-Iimaan bab ad-Diinu Yusr (hadits no. 39).
[23] HR. Al-Bukhari dalam kitab Iimaan, bab Ahabbud Diini ilallaahi Adwamahu, (hadits no. 43) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Amri man Na-isa fii Shalaa-tih (hadits no. 785).
[24] Fat-hul Baarii (III/27).
[25] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Wudhu’-i bab al-Wudhu’-i minan Naum, (hadits no. 213).
[26] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Wudhu’-i bab al-Wudhu’-i minan Naum (hadits no. 212) dan Muslim dalam kitab Shalaa-til Musaafiriin bab Amru man Na-isa fii Shalaatih, (hadits no. 786). Lafazh hadits ini adalah versi Muslim.
[27] Shahiih Muslim bi Syarhin Nawawi (VI/74).
[28] HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab Man Naama ‘indas Sahar, (hadits no. 1133) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Shalaatil Lail wa ‘Adadi Raka’aatin Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits no. 742). Lafazh ini adalah versi Muslim.
[29] Lihat al-Ghunyah li Thaalibil Haqi, karya ‘Abdul Qadir al-Jailani (hal. 62).
[30] HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab al-Qunuut fii Shalaatil Witr, (hadits no. 1427), at-Tirmidzi dalam kitab ad-Da’waat, bab Du’aa-ul Witr, (hadits no. 3566) dengan komentarnya, “Hadits ini hasan gharib”, an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamul Laili wa Tathawwu’un Nahaar, bab Do’a witir, (hadits no. 1747), Ibnu Majah dalam Iqaamatush Shalaati was Sunnati fii ha, bab al-Qunuut fii Shalaatil Witr, (hadits no. 1168).
[31] Lihat ‘Aunul Ma’buud Syarh Sunan Abi Dawud, karya al-‘Azhim Abadi, (IV/213).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3497-etika-shalat-malam.html